RUANG LINGKUP DAN KEDALAMAN MATERI KHITAN DALAM MADRASAH IBTIDAIYAH KURIKULUM 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK....................................................................................................... ........ i
DAFTAR ISI................................................................................................... ....... ii
KATA PENGANTAR..................................................................................... ...... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... ....... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. ....... 1
C. Tujuan................................................................................................... ....... 2
D. Kerangka Teori..................................................................................... ....... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khitan................................................................................. ....... 3
B.
Ruang Lingkup Materi Khitan dalam Ilmu Fikih................................. ....... 5
C.
Ruang Lingkup Materi Khitan pada Mata Pelajaran
Fikih Menurut Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI......................................................................................................... ..... 12
D.
Kedudukan Materi Khitan dalam Kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI Menurut Taksonomi Bloom.............................................................................................................. ..... 14
E. Kesesuaian Ruang Lingkup Materi Khitan
dengan Karakteristik Perkembangan Peserta Didik 16
F. Kesesuaian Kedalaman Materi Khitan dengan
Standar Isi dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI.............................................................................................................. ..... 16
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... ..... 19
Daftar Pustaka....................................................................................................... 20
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamiin, segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya kepada penulis. Sholawat dan salam mari kita panjatkan
kepada baginda Nabi Rasulullah Muhammad Saw yang telah menjadi penunjuk jalan
yang benar bagi ummatnya. Berkat keduanya (Allah dan Muhammad) penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Ruang Ligkup dan Kedalaman
Materi Fikih dalam Fikih MI” untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih.
Pada
kesempatan ini penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Dr. Andi Prastowo, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Fikih MI yang telah memberikan
bimbingan pada penulisan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan makalah ini.
Penulis
sangat menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan baik
dalam hal materi dan tata penulisan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis butuhkan demi memperbaiki penulisan makalah ini untuk masa yang akan
datang. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, April 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebersihan
adalah sebagian dari iman. Slogan tersebut sangat sering terdengar dan menjadi
acuan seorang Muslim untuk tetap menjaga kebersihan. Karena Islam sendiri
sangat menganjurkan kebersihan badan dan pakaian. Anjuran Islam untuk tetap
menjaga kebersihan, maka tidak heran apabila Islam mewajibkan beberapa hal
terkait dengan pembersihan kotoran, salah satunya adalah khitan.
Khitan berarti
bagian yang dipotong atau tempat timbulnya konsekuensi hukum syarak. Khitan,
mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, mencukur
kumis dan memotong kuku adalah cara terbaik untuk membersihkan diri seorang
muslim. Khitan disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan.
Materi fikih
tentang khitan sudah sesuai dengan karakteristik perkembangan peserta didik
usia MI, karena anak pada usia 6-11 tahun harus mengetahui kewajibannya sebagai
seorang muslim. Dengan adanya materi khitan menjadikan peserta didik dapat mengetahui
hukum,tata cara dan peserta didik dapat melaksanakan kewajiban khitannya,
karena telah mengeetahui manfaatnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Khitan?
2.
Bagaimana Ruang Lingkup Materi Khitan dalam Ilmu
Fikih?
3.
Bagaimana Ruang Lingkup Materi Khitan pada Mata
Pelajaran Fikih Menurut Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI?
4.
Bagaimana Kedudukan Materi Khitan dalam Kurikulum
2013 PAI dan Bahasa Arab di MI Menurut Taksonomi Bloom?
5.
Bagaimana Kesesuaian Ruang Lingkup Materi Khitan
dengan Karakteristik Perkembangan Peserta Didik?
6.
Bagaimana Keseuaian Kedalaman Materi Khitan dengan
Standar Isi dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian Khitan?
2.
Mengetahui Ruang Lingkup Materi Khitan dalam Ilmu
Fikih?
3.
Mengetahui Ruang
Lingkup Materi Khitan pada Mata Pelajaran Fikih Menurut Kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI?
4.
Mengetahui Kedudukan Materi Khitan dalam Kurikulum
2013 PAI dan Bahasa Arab di MI Menurut Taksonomi Bloom?
5.
Mengetahui Kesesuaian Ruang Lingkup Materi Khitan
dengan Karakteristik Perkembangan Peserta Didik?
6.
Mengetahui Kesesuaian Kedalaman Materi Khitan dengan
Standar Isi dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI?
D.
Kajian Teori
Materi khitan pada mata pelajaran Fikih
dalam kurikulum 2013 di Madrasah Ibtidaiyah terdapat di kelas V semester gasal.
Materi ini juga merupakan bagian dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di
Madrasah Ibtidaiyah (MI). Surat keputusan tentang hal tersebut tercantum dalam Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan
Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Peserta didik juga diharapkan mampu
memahami ruang lingkup khitan dalam ilmu fikih dan kurikulum 2013.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khitan
Khitan menurut
bahasa berasal dari kata khatn yang
berarti khitan bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah khafd. Makna asli kata khitan dalam
bahasa arab adalah bagian kemaluan laki-laki atau perempuan yang dipotong. Ibnu
Hajar mengatakan, bahwa Al-Khitan adalah
isim masdar dari kata khtana yang
berarti memotong, sama dengan khatn
yang berarti mrmotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus
pula.[1]
Secara etimologis, khitan berarti memotong kulit di kepala zakar. Secara
terminologis adalah memotong lingkar kulit yang berada di bawah kulit depan
kepala zakar.[2]
Khitan bisa juga
berarti bagian yang dipotong atau tempat timbulnya konsekuensi hukum syarak.[3]
Khitan, mencukur rambut kelaluan, mencabut bulu ketiak, mencukur kumis dan
memotong kuku adalah cara terbaik untuk membersihkan diri seorang muslim.[4] Khitan
disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan dalil-dalil yang antara
lain adalah hadist yang bersumber dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda:
عَنْ اَبِى
هُرَيْرَةَ رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ، اَلْخِتَانُ وَ
اْلاِسْتِحْدَادُ وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ وَ تَقْلِيْمُ
اْلاَظْفَارِ.
Artinya :
“Fitrah itu ada lima : khitan, mencukur bulu disekitar kemaluan, memotog kumis,
memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga firman
Allah SWT
وَإِذِ
ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي
جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ
عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya : “Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim as. diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan) lalu beliau menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manisia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:124)
Hadist lain yang
mewajibkan khitan terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang
bersumber dari Abu Hurairah ra.:
اخْتَتَنَ
إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
Artinya : “Nabi
Ibrahim berkhitan dalam usia 80 tahun dengan memakai kapak.”
Nabi Ibrahim
tentu tidak akan berkhitan dalam usia yang begitu lanjut jika hal itu bukan
karena perintah Allah. Dan Rasulullah Saw. mendapatkan perintah dari Allah
untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim, sebagaimana dinyatakan oleh ayat:[5]
ثُمَّ
اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ
مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ.
Artinya :
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), Ikutlah agama Ibrahim seorang yang
hanif.” (QS.An-Nahl : 123)
Banyak juga
hadist yang menerangkan masalah pertemuan antara dua bagian yang dikhitan
dengan berbagai macam riwayat. Diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Abu Burdah bin Abu Musa. Ia mengatakan, bahwa kaum Muhajirin
dan Anshar berbeda pendapat tentang wajib tidaknya mandi. Para sahabat Anshar
berpendapat, bahwa mandi hanya jika keluar air mani. Sedangkan para sahabat
Muhajirin berpendapat, bahwa jika dua bagian yang dikhitan itu bertemu, maka
yang bersangkutan wajib mandi, meskipun tidak sampai mengeluarkan mani.[6]
Disamping itu,
ada hadist yang secara khusus menerangkan masalah khifadh (khitan untuk perempuan). Bersumber dari Anas bin Malik,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Ummu Athiyah, orang yang biasa mengkhitan
anak perempuan di Madinah :
اخْفِضِى
وَلاَ تُنْهِكِى فَإِنَّهُ اَنْضَرُ لِلْوَجْهِ وَ اَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ
Artinya :
“Apabila kamu mengkhifadh, janganlah berlebihan karena yang tidak berlebihan
itu akan menambah cantiknya wajah dan menambah kenikmatan dalam berhubungan
dengan suami.” (HR. Thabrani).
B. Ruang Lingkup Materi Khitan dalam Ilmu Fikih
1.
Hukum Khitan
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. “Orang yang tidak
dikhitan shalatnya tidak diterima, sembelihannya tidak boleh dimakan dan tidak
boleh memberi kesaksian.” Yang benar adalah sebaliknya shalatnya sah,
sembelihannya boleh dimakan dan kesaksiannya diterima.[7]
Berikut ini beberapa pendapat para ulama tentang hukum khitan, sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Dr. Saad Al-Marsyafi dalam bukunya Ahaadits Al-Khitan
Hujjiyatuha wa Fiqhuha:[8]
a.
Khitan untuk laki-laki
Pengikut mazhab Hanafi berpendapat, bahwa khitan
hukumnya sunnah untuk laki-laki. Mereka menganggap khitan sebagai salah satu
bentuk syiar Islam seperti halnya azan. Para pengikut imam Malik juga
memandang, bahwa khitan untuk laki-laki adalah sunnah. Sedangkan sebagian besar
ulama ahli fikih pengikut Imam Syafi’i berpendapat, bahwa khitan wajib untuk
laki-laki. Imam Nawawi berkata, “Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur
yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i dan telah disepakati oleh sebagian besar
ulama.” Memang ada yang berpendapat bahwa khitan itu sunnah untuk laki-laki,
tetapi Imam Nawawi menolak pendapat tersebut.
Dalam kitab Al-Majmu’ diungkapkan, mayoritas ulama
salaf berpendapat bahwa hukum khitan itu wajib. Menurut Al-Khitabi, Ibnul Qoyyim
berkata, “As-Sya’bi, Al-Auzai, dan Yahya bin Sa’id Al-Anshari berpendapat,
bahwa khitan adalah wajib.” Selain itu dalam kitab Fathul Bari disebutkan bahwa
yang berpendapat khitan itu wajib dari kalangan ulama salaf adalah Imam
Al-Atha. Ia berkata, “Apabila orang dewasa masuk Islam, belum dianggap sempurna
Islamnya sebelum dikhitan.” Dan terakhir dari ulam mazhab Hambali juga
berpendapat, bahwa hukum khitan wajib untuk laki-laki.[9]
b.
Khitan untuk perempuan (Khifadh)
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa khitan untuk
perempuan dipandang baik. Menurut Mazhab Maliki, khitan bagi perempuan
dipandang baik. Diterangkan bahwa Imam Malik berkata, “Hendaklah seorang
perempuan membiasakan diri memotong kuku, memotong bulu kemaluan, dan
berkhitan, sebagaimana yang dilakukan laki-laki.” Sedangkan menurut mazhab
Syafi’i, Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat, bahwa hukum khitan bagi
perempuan adalah wajib. Menurut Imam Nawawi, pendapat ini shahih, masyhur, dan
telah disepakati oleh para ulama.[10]
Lain halnya dengan mazhab Hambali belum ada kata
sepakat tentang hukum khitan bagi perempuan. Ada yang mengatakan wajib, ada
yang berpendapat, bahwa khitan perempuan itu dipandang baik. Sedangkan menurut
Imam Ahmad, adanya ketentuan yang menyatakan wajibnya mandi apabila dua bagian
yang dikhitan saling bertemu menunjukkan bahwa sejak dulu telah banyak perempuan
yang berkhitan. Dapat disimpulakan bahwa pendapat yang mengatakan khifadh itu
wajib belum ada dalil yang kuat untuk dijadikan dasar. Demikian yang
berpendapat bahwa khitan bagi perempuan itu dipandang baik tidak ada dalilnya,
kecuali hadits “Khitan itu sunnah bagi anak laki-laki dan dipandang baik bagi
anak perempuan.”[11]
c.
Khitan untuk orang banci
Menurut mazhab Hanafi, orang banci mungkin saja
berjenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu wajib dikhitan. Sementara para
pengikut mazhab Maliki tidak banyak berkomentar. Adapun pengikut mazhab Syafi’i
mengatakan, bahwa khitan bagi orang banci yang jenis kelaminnya belum diketahui
secara pasti hukumnya wajib, dan yang dikhitan adalah kedua alat kelaminnya,
sebab salah satu diantara keduannya wajib dikhitan.[12]
Namun, Al-Baghawi bersikeras bahwa orang banci tidak
perlu dikhitan. Karena kita tidak boleh menyakiti sesuatu yang tidak pasti atau
mempersulit. Menurut Imam Nawawi, pendapat Al-Baghawi itu lebih tepat.
Sedangkan mazhab Hambali berpendapat bahwa mengkhitan orang banci lebih utama.
Sebab laki-laki dan perempuan harus dikhitan, maka orang banci juga perlu
dikhitan. Yang dikhitan adalah kedua alat kelaminnya.[13]
Dapat kita simpulkan dari berbagai pendapat diatas
bahwa orang banci akan lebih uama jika dikhitan, demi kemaslahatan, jika
memungkinkan. Dalam hal ini juga erlu adanya konsultasi dengan dokter muslim
yang adil.
2.
Batas yang Dipotong dalam Mengkhitan
a.
Anak laki-laki
Menurut mazhab Hanafi, yang wajib dipotong dalam
mengkhitan anak laki-laki adalah semua kulit yang menutupi hasyafah. Mazhab Maliki juga berpendapat bahwa batas yang harus
dipotong dalam mengkhitan anak laki-laki adalah kulit yang menutupi hasyafah. Imam Nawawi, salah satu
pengikut Imam Syafi’i dan Haramain juga berpendapat demikian.[14]
Sementara itu Imam Ar-Rafi’i mengutip pendapat Ibnu
Kajj yang mengkhitan anak laki-laki kita cukup memotong sebagian kulupnya,
tetapi harus mencapai bundaran kulupnya. Namun pendapat ini ditentang oleh Imam
Nawawi. Mazhab Hambali berpendapat sama dengan mazhab Hanafi. Sementara Imam
Hambal sendiri ditanya tentang batas yang harus dipotong dalam mengkhitan anak
laki-laki, ia menjawab “sampai terlihat hasyafahnya.”[15]
b.
Anak perempuan
Imam Ibnul Qoyyim berpendapat, alat kelamin
perempuan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama merupakan simbol kegadisannya
dan kedua adalah bagian yang harus dipotong saat berkhitan. Bentuknya seperti
jengger ayam jantan, terletak di bagian Farji paling atas diantara tepinya,
jika ini dipotong, sisanya akan berbentuk seperti biji kurma. Cara memotongnya
tidak boleh berlebihan.
Hal diatas berdasarkan sebda Nabi Muhammad Saw,
kepada Ummu Athiyah:
اخْفِضِى
وَلاَ تُنْهِكِى فَإِنَّهُ اَنْضَرُ لِلْوَجْهِ وَ اَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ.
Artinya: “Berkhifadhlah dan jangan berlebihan,
karena bila tidak berlebihan dapat menjadikan wajah lebih ceria dan lebih nikmat
dalam berhubungan badan.”
Para fukaha
umumnya sependapat dengan pendapat di atas. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah
menerangkan, bahwa tujuan utama khifadh
adalah untuk menstabilkan syahwat, sebagai salah satu cara guna menanggulangi
perbuatan keji seperti zina. Sebaliknya, jika khifadh dilakukan secara berlebihan, maka bisa menimbulkan lemah
syahwat. Oleh karena itu, dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian dalam
melaksanakannya.
3.
Waktu Khitan
Para pengikut mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang
kapan khitan dilakukan. Ada yang berpendapat setelah akil baligh, pada usia 9
tahun, 10 tahun, dan ada juga yang mengatakan bahwa khitan dilakukan pada saat
anak sudah mampu menanggung rasa sakit dikhitan. Imam Hanafiah tidak memberikan
kepastian tentang waktu khitan, karena menurutnya, ketentuan tentang waktu
khitan mestinya datang dari syarak, sementara nash maupun ijmak tentang hal itu belum ada.[16]
Menurut mazhab Maliki, waktu khitan adalah pada
masa-masa bayi, tepatnya pada saat giginya tumbuh setelah tanggalnya gigi susu
(waktu ishghar). Boleh dikhitan
sebelum atau sesudah ishghar, tetapi
yang lebih baik adalah sesudahnya. Apabila mengkhitan bayi pada usia 7 hari
hukumnya makruh, apabila pada hari kelahirannya. Sebab, menurut Imam Malik, hal
itu menyerupai perbuatan orang Yahudi.[17]
Sementara mazhab Syafi’i berpendapat bahwa waktu
khitan ada dua macam, yaitu waktu yang diwajibkan adalah sesudah akilbaligh,
karena sebelum akil baligh anak tidak wajib menjalankan syari’at agama. Adapun
yang dimaksud dengan waktu yang disunnahkan adalah sebelum baligh, tepatnya
hari ketujuh setelah kelahuran karena ada dalil yang menguatkan yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh hakim dari Aisyah ra. Bahwa Nabi Muhammad Saw.
mengkhitan Hasan dan Husain pada hari ketujuh setelah kelahirannya.[18]
Seperti dalam sebuah riwayat:
اِنَّ
النَّبِيَّ ص خَتَنَ اْلحَسَنَ وَ اْلحُسَيْنَ يَوْمَ السَّابِعِ مِنْ
وِلاَدَتِهِمَا
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi Saw mengkhitan Hasan dan Husein pada hari ketujuh dari
kelahirannya. (HR. Hakim dan Baihaqi, dari Aisyah, dalam Talkhiishul Habiir juz
4, hal. 226, no. 1808)
Terakhir mazhab Hambali berpendapat bahwa khitan itu
wajib dilakukan pada usia akil baligh, karena sebelum usia itu seorang anak
tidak termasuk mukalaf. Akan tetapi, khitan pada masa kecil lebih utama, karena
begitu anak lebih cepat terlepas dari kewajiban hukum. Ibnul Qoyyim berkata,
“Seorang wali wajib mengkhitankan anaknya sebelum usia akil baligh, sepaya
ketika anak itu memasuki usia akil baligh, ia sudah dalam keadaan berkhitan.[19]
4.
Orang yang Mengkhitan
Pelaksanaan khitan bagi anak-anak dibebankan kepada
orang tuannya. Jika orang tuanya tidak mampu melakukannya, maka boleh meminta
orang lain. Sedangkan bagi orang yang sudah dewasa yang belum dikhitan, ia
boleh melakukannya sendiri, tetapi jika ia takut berakibat fatal, maka ia boleh
dikhitan oleh laki-laki lain.
Adapun orang yang dianggap mampu mengkhitan harus
memenuhi dua syarat, yaitu:
a.
Pertama, ahli dalam bidangnya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah Saw yang artinya “Barangsiapa yang mempraktikkan pengobatan,
padahal ia tidak tahu banyak tentang ilmu kedokteran, maka ia harus berani
bertanggung jawab.”
Pengobatan
yang dimaksud seperti pengobatan jasmani, jiwa, mengkhitan, dan pengobatan
lainnya.
b.
Kedua, tidak melampaui batas kewajaran. Maksudnya
tidak melewati batas-batas yang harus dipotong, sebagaimana telah ditentukan
oleh syariat.
5.
Hikmah dan Manfaat Khitan
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, “Orang yang tidak
dikhitan shalatnya tidak diterima, sembelihannya tidak boleh dimakan dan tidak
boleh memberi kesaksian.” Yang benar adalah sebaliknya; shalatnya sah,
sembelihannya boleh dimakan dan kesaksiannya diterima, karena tidak ada dalil
shahih yang menunjukkan semua itu.[20]
Hikmah dari khitan menurut Agama Islam
antara lain:[21]
a.
Menjaga kebersihan dan kesucian badan
b.
Merupakan tanda kesempurnaan seorang muslim
c.
Menjadikan kemaluan lebih bersih dan mudah
membersihkannya.
d.
Sebagai ciri atau tanda pengikut Nabi Muhammad Saw
dan pelestari syariat Nabi Ibrahim as
e.
Mencegah timbulnya berbagai macam penyakit
Ilmu kedokteran modern membuktikan banyak manfaat
khitan dan kegunaan khitan dan kegunaannya, antara lain:[22]
a.
Mencegah bertumpuknya kotoran yang menyebabkan
radang
b.
Mencegah bertumpuknya bekas air seni
c.
Mencegah bertuknya bekas cairan yang keluar
d.
Membuka penis sehingga meenambah sensitivitas penis
ketika berhubungan badan.
6.
Walimatul Khitan
Pengikut mazhab Syafi’i memandang baik mengadakan
walimatul khitan dengan tujuan mensyukuri nikmat Allah dan mencari pahala
sedekah.[23]
Tetapi hukumnya tidak wajib, karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan
walimatul khitan. Imam Al-Adzra’i mengatakan bahwa yang dipandang baik adalah
mengadakan walimah ketika mengkhitan anak laki-laki, bukan anak perempuan,
karena anak perempuan akan merasa malu jika diumumkan.
Tidak ada jeleknya mengadakan walimah khitan, dengan
itu kita bisa menyedekahkan makanan, dengan
menghadiri undangan walimah khitan tentu akan membahagiakan orang yang
mengundang kita dan mempererat tali silaturrahmi.
C. Ruang Lingkup Materi Khitan pada Mata Pelajaran
Fikih menurut Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Mata pelajaran
Fikih di MI merupakan salah satu mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang
fikih ibadah yang meliputi pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara
pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan sehri-hari, serta
Fikih muamalah yang menyangkut pengenalan dan pemahaman sederhana mengenai
ketentuan tentang makanan halal dan haram, khitan, kurban, serta pelaksanaan
jual-beli dan pinjam meminjam.
Ruang lingkup Fikih di Madrasah
Ibtidaiyah meliputi:
1. Fikih ibadah, yang menyangkut:
pengenalan dan pemahaman tentang cara pelaksanaan rukun Islam yang benar dan
baik, seperti: tata cara taharah, salat, puasa, zakat, dan ibadah haji.
2. Fikih muamalah, yang menyangkut:
pengenalan dan pemahaman mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang
halal dan haram, khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan
pinjam meminjam.[24]
Terkait dengan materi khitan Mata
Pelajaran Fikih dalam kurikulum 2013 di Madrasah Ibtidaiyah terdapat di kelas V
semester gasal sebagai berikut:[25]
|
Kompetensi Inti |
Kompetensi Dasar |
|
1. Menerima, menjalankan,
dan menghargai ajaran agama yang dianutnya |
1.1 Meyakini bahwa bersuci adalah perintah Allah 1.2 Menghayati nilai-nilai
perintah dan ketentuan khitan |
|
2. Menunjukkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga, teman, guru dan tetangganya serta cinta tanah
air |
2.1. Membiasakan perilaku
bersih dan rapi sebagai implementasi dari pemahaman terhadap perintah bersuci
dari haid 2.2. Membiasakan perilaku tanggung
jawab dan percaya diri sebagai implementasi dari pemahaman terhadap perintah
dan ketentuan khitan |
|
3. Memahami pengetahuan
faktual dan konseptual dengan cara mengamati, menanya dan mencoba berdasarkan
rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan
benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain |
3.1 Memahami mandi wajib
setelah haid 3.2 Memahami perintah dan ketentuan khitan |
|
4. Menyajikan pengetahuan
faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas, sistematis, logis dan kritis
dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan
dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia. |
4.1 Mensimulasikan mandi wajib setelah haid 4.2 Mensimulasikan
pelaksanaan Khitan |
D.
Kedalaman Materi Khitan dalam Kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI menurut Taksonomi Bloom
Materi khitan mengandung 3 aspek, yaitu: kognitif,
afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif membahas tentang tujuan pembelajaran
yang berkaitan dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahuan
sampai ketingkat evaluasi.[26]
Aspek afektif mengandung domain tentang sikap, nilai-nilai interes, apresiasi dan penyesuaian perasaan dan sosial. Serta aspek
psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan keterampilan yang bersifat
manual atau motorik.[27]
Materi khitan memiliki ruang lingkup yang spesifik dan
terstuktur untuk mengembangkanya untuk mencapai tujuan pendidikan dan aktivitas
pembelajaran untuk penekanan materi pengetahuannya.[28]
Kedalaman materi khitan mengandung pesan untuk peserta didik yang masih level
anak-anak agar dapat memahami materi khitan dengan baik. Materi khitan
dijelaskan secara riil kepada peserta didik agar mudah untuk dipahami.[29] Dilihat
dari standar isi yang bertujuan untuk menumbuhkan pengetahuan peserta didik
untuk mencapai tujuan pendidikan. Peserta didik dituntut untuk dapat memahami
materi khitan yang merupakan tingkat pengetahuan peserta didik ditingkat dua. Selain itu, pengetahuan yang berpijak pada
kemampuan transfer dan ditekankan pada siswa ialah memahami.[30]
Peserta didik dapat dikatakan mencapai standar kompetensi
jika dapat memahami dengan cara mengkontruksi makna dari pesan pembelajaran,
baik yang bersifat lisan, tulisan ataupun grafis. Peserta didik dikatakan memahami ketika dapat menghubungkan
atau memadukan pengetahuan baru dan pengetahuan lamanya. Proses kognitif dalam
kategori memahami meliputi proses menafsirkan, mencontoh, mengklasifikasikan,
merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan[31]
E.
Kesesuaian Ruang Lingkup Materi Khitan dengan
Karakteristik Perkembangan Peserta Didik
Berdasarkan kedalaman materi mengenai khitan yang ditujukan kepada peserta didik kelas V
semester 1 yang berisi tentang ketentuan Khitan. Hal itu didasari karena pada
saat peserta didik menginjak umur 11 tahun
maka materi ini tepat bagi anak MI kelas v berkaitan juga dengan salah
satu sifat terpenting dari perkembangan berfikir operasional kongfkrit yakni
sifat deduktif-hipotesis. Peserta didik dalam stadium kognitif operasional
kongkrit (11 tahun) dapat berfikir operasional dengan catatan bahwa materi
berfikirnya adalah kongkrit. Dengan demikian Fikih MI sebaiknya menyajikan
materi yang secara realitas itu kongkrit dapat dirasakan secara indrawi dan
dapat dialami oleh peserta didik.
F.J. Monks menjelaskan; “ suatu kecenderungan anak yang
berfikir operasional kongkrit jika menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung
memasuki wilayahnya. Anak mencoba beberapa penyelesaian secara kongkrit dan
hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Jadi mengekspor pengetahuan anak dengan menstimulus dengan materi yang relevan
dengan kontesk realitas yang ada pada dasarnya akan mengefektifkan proses
pembelajaran fikih itu sendiri.[32] Kesesuaian materi khitan yang diberikan pada
kelas V yang dimana peserta didik sudah berusia 11 tahun. Pada tingkatan dimana
anak bisa merasakan pentingnya mensucikan diri.
F. Memeriksa Kesesuaian Kedalaman antara Materi Khitan
dengan Standar Isi dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Materi khitan menurut Keputusan Menteri Agama Nomor 207 tahun 2014
tentang Kurikulum Madrasah telah dijelaskan bahwa Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa
Arab mulai dilakukan.[33]
Kedalaman materi khitan dengan standar isi sudah sesuai diberikan di kelas atas
dikarenakan menurut persektif pedagogis dan psikologi peserta didik. Berikut
adalah tabel standar isi materi khitan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam
dan Bahasa Arab di Madrasah dan Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan
Agama Islam dan Bahasa Arab.
|
KOMPETENSI INTI
|
KOMPETENSI
DASAR |
|
|
1. Menerima, menjalankan, dan menghargai ajaran agama
yang dianutnya |
1.2
Menghayati
nilai-nilai perintah dan ketentuan khitan |
|
|
2
Menunjukkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru dan tetangganya serta cinta
tanah air |
2.2. |
Membiasakan
perilaku tanggung jawab dan percaya diri sebagai implementasi dari
pemahaman terhadap perintah dan
ketentuan khitan |
|
3. Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan
cara mengamati, menanya dan mencoba berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya
di rumah, di sekolah dan tempat bermain |
3.2 |
Memahami
perintah dan ketentuan khitan |
|
4. Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam
bahasa yang jelas, sistematis, logis dan kritis dalam karya yang estetis, dalam gerakan
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku
anak beriman dan berakhlak mulia. |
4.2 Mensimulasikan pelaksanaan khitan |
|
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa Khitan berarti bagian yang dipotong atau tempat timbulnya
konsekuensi hukum syarak. Khitan, mencukur rambut kelaluan, mencabut bulu
ketiak, mencukur kumis dan memotong kuku adalah cara terbaik untuk membersihkan
diri seorang muslim. Khitan disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan. Karena
khitan merupakan salah satu hal mensucikan diri dan menjaga kebersihan seorang
Muslim. Dan materi khitan di MI juga sangat sesuai karena usia anak MI harus
mengetahui kewajibannya sebagi seorang muslim, salah satunya adalah
melaksanakan khitan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qahthani, Sa’id bin
Ali bin Wahf. Panduan lengkap Tarbiyatul
Aulad, Solo: Zamzam, 2013.
Anderson,
Lorin W., dkk. Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Diterj.oleh: Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
Buku Fikih MI
Pegangan Siswa kurikulum 2013, Buku Ajar
Siswa Fikih Kelas 5, diunduh dari https://drive.google.com/file/d/0ByH3q80u9ZDoM1pzbVJLWHU3a0k/view .Diunduh tanggal 25 April 2018
Ma’ruf, Asrori
Ahmad,dkk. KHITAN DAN AKIKAH Upaya
Pembentukan Generasi Qur’ani, Surabaya: Al-Miftah, 1998.
Menteri
Agama RI. Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.165 Tahun 2014. Tanggal 17
Oktober 2014.
Menteri
Agama RI. Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab di Madrasah. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia No. 2
Tahun 2008. Tanggal 6 Mei 2008.
Prastowo,
Andi. “Keselarasan Materi Fiqih MI
Kurikulum 2006 Terhadap Karakteristik Perkembangan Peserta Didik”. Diunduh
dari http://digilib.uin-suka.ac.id/25298/4/03.pdf,
Diunduh tanggal 23 April 2018
Suwaid Muhammad Nur Abdul Hafizh, Prophetic Parenting: Cara Nabi Mendidik Anak,
(Sidoarjo: Pro-U Media), 2009.
[1] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 11
[2] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic
Parenting: Cara Nabi Mendidik Anak, (Sidoarjo: Pro-U Media), 2009. Hlm 124
[3] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 11
[4] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Panduan lengkap Tarbiyatul Aulad, (Solo: Zamzam), 2013. Hlm 98
[5] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 14
[6] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 15
[7] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Panduan lengkap Tarbiyatul Aulad, (Solo: Zamzam), 2013. Hlm 98
[8] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 16
[9] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 16-17
[10] Ibid..., hlm 28-29
[11] Ibid..., hlm 31
[12] Ibid..., hlm 33
[13] Ibid..., hlm 33-34
[14] Ibid..., Hlm 34
[15] Ibid..., Hlm 35
[16] Ibid..., Hlm 37
[17] Ibid..., Hlm 37-38
[18] Ibid..., Hlm 39
[19] Ibid..., Hlm 40
[20] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Panduan lengkap Tarbiyatul Aulad, (Solo: Zamzam), 2013. Hlm 98
[21] Buku Fikih MI Pegangan Siswa kurikulum 2013, Buku Ajar Siswa Fikih Kelas 5 untuk MI, (https://drive.google.com/file/d/0ByH3q80u9ZDoM1pzbVJLWHU3a0k/view
), hlm 17
[22] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya:
Al-Miftah), 1998. Hlm 99
[23] Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri
Ismail, KHITAN DAN AKIKAH Upaya
Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: Al-Miftah), 1998. Hlm 46
[24] Menteri Agama, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 2
Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama
Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, ditetapkan Tanggal 6 Mei 2008.
[25] Materi Agama Republik Indonesia, Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam
dan Bahasa Arab di Madrasah, Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014, ditetapkan tanggal
17 Oktober 2014.
[26] Lorin W. Anderson, dkk.,
Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Diterj.oleh: Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), hlm 57-58.
[27] Andi Prastowo, “Keselarasan Materi Fiqih MI Kurikulum 2006
Terhadap Karakteristik Perkembangan Peserta Didik”, diunduh dari http://digilib.uin-suka.ac.id/25298/4/03.pdf, Tanggal 17 Maret 2018
[28] Lorin W. Anderson, dkk.,
Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Diterj.oleh: Agung Prihantoro, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hlm 59
[29] Ibid, hlm 59-67
[30] Ibid, hlm 105
[31] Ibid, hlm 106-115
[32] Andi
Prastowo, “Keselarasan Materi Fiqih MI
Kurikulum 2006 Terhadap Karakteristik Perkembangan Peserta Didik”, diunduh
dari http://digilib.uin-suka.ac.id/25298/4/03.pdf, Tanggal 17 Maret 2018
[33] Menteri Agama, Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia No. 207
Tahun 2014 tentang Kurikulum Madrasah, ditetapkan Tanggal 31 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar