ISLAM INKLUSIF, HUMANIS DAN RELIGIUS

 

PEMBELAJARAN FIKIH

MADRASAH IBTIDAIYAH YANG INKLUSIF DAN

HUMANIS- RELIGIUS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu

Mata Kuliah: Fikih MI

Disusun oleh:

Sem. IV/PGMI A

Lusima Nur Insani 

 

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2017



PEMBELAJARAN FIKIH MADRASAH IBTIDAIYAH YANG

INKLUSIF DAN HUMANIS-RELIGIUS

Disusun oleh: Lusima Nur Insani

 

Abstrak

Islam sebuah agama universal, agama bagi manusia (umat manusia), atau sebagai agama untuk seluruh dunia karena misi sebagai rahmat untuk semua makhluk. Namun, pelajaran teologi di sekolah cenderung diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di Indonesia sendiri merupakan negara yang pluralisme, sehingga teologi eksklusivis tidak dapat dijadikan landasan untuk hidup berdampingan secara damai dan rukun.

 

Diperlukan upaya-upaya tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan agama, pengakuan keberadaan agama lain dan hak agama lain Dengan mengenal pendidikan agama yang Inklusif yang bermakna terbuka, serta yang humanis dan religius yang bermakna pendidikan yang membetuk manusia sesuai kodratnya yang mencakup dimensi ketuhanan maupun dimensi kemanusiaan yang dalam korelasinya bagaimana pola hubungan antar sesama manusia akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sehingga diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik.


 

DAFTAR ISI

 

HALAMAN SAMPUL

ABSTRAK............................................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

BAB I       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang .............................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah ......................................................................... 1

C.     Tujuan ........................................................................................... 2

D.    Kerangka Teori ............................................................................. 3

BAB II      PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Islam Inklusif……………………………………..3

B.     Konsep Dasar Pendidikan Islam Humanis-Religius ..................... 5

C.     Urgensi Pendidikan Islam Inklusif-Humanis-Religius.................. 7

D.    Karakteristik Perkembangan Religiustias, Kognitif, Bahasa, Sosial, dan Fisik Peserta Didik MI     9

E.     Implementasi Konsep Pendidikan Islam Inklusif-Humanis-Religius untuk Pembelajaran Fikih MI Kurikulum 2013 ........................................................................... 11

BAB III     PENUTUP

A.    Kesimpulan .................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 14

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam yang selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat pertolongan dan perlindungan-Nya akhirnya  penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Pembelajaran Fikih Madrasah Ibtidaiyah yang Inklusif dan Humanis-Religius”.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Fikih MI. Makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, diantaranya Bapak Dr. Andi Prastowo, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih MI atas bimbingan dan arahannya, serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan baik materi maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik yang membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran, pembelajaran dan manfaat bagi kita sekalian.

 

Yogyakarta, 02 Maret 2018

 

 

             Penulis

BAB  I

PENDAHULUAN

A.          LATAR  BELAKANG

Dalam perkembangan kehidupan yang ditandai dengan semakin derasnya arus perubahan sosial dan budaya maka pendidikan agama menghadapi tantangan berat untuk tetap bertahan dan meningkatkan perannya. Menyadari akan harapan terhadap peran agama, maka persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagaimana ia mampu menghadirkan suatu konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Pendidikan agama terlalu didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, yang memaksa peserta didik tunduk pada suatu meta-narasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah kritis serta perbandingan dengan agama lain. Sehingga, pada akhirnya agama dipandang sebagai suatu yang final yang harus diterima apa adanya.

Maka dari itu, pendidikan Islam memiliki tugas dalam mentransfer ajaran Islam kepada siswa agar mereka mampu menghargai nilai-nilai global seperti inklusivisme, humanisme, religius dan toleransi. Kemudian, bagaimanakah konsep dasar dan urgensi Islam yang inklusif, humanis-religius serta bagaiamana implementasi konsep Islam inklusif, humanis dan religius terhadap pembelajaran fikih MI. Adapun uraian mengenai topik tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

B.           RUMUSAN  MASALAH

1.       Apakah konsep dasar Islam inklusif?

2.       Apakah konsep dasar pendidikan Islam humanis-religius?

3.       Bagaimanakah urgensi pendidikan Islam inklusif-humanis-religius?

4.       Bagaimanakah karakteristik perkembangan religiusitas, kognitif, bahasa, sosial dan fisik peserta didik Madrasah Ibtidaiyah (MI)?

5.      Bagaimana implementasi konsep pendidikan Islam inklusif-humanis-religius untuk pembelajaran Fikih MI Kurikulum 2013?

 

C.     TUJUAN

1.       Untuk mengetahui konsep dasar Islam inklusif.

2.       Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan Islam humanis-religius.

3.       Untuk mengetahui urgensi pendidikan Islam inklusif-humanis-religius.

4.       Untuk mengetahui karakteristik perkembangan religiusitas, kognitif, bahasa, sosial dan fisik peserta didik Madrasah Ibtidaiyah (MI).

5.       Untuk mengetahui implementasi konsep pendidikan Islam inklusif-humanis-religius untuk pembelajaran Fikih MI Kurikulum 2013.

 

D.     KERANGKA TEORI

1.      Inklusifisme

Inklusivisme, yaitu keterbukaan diri terhadap “unsur luar” melalui kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi secara konstruktif.

2.      Pluralisme

Penerimaan atas keragaman masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.

3.      Humanisme

Secara etimologi humanisme berasal dari kata Latin “humanus” dan mempunyai akar kata “homo” yang berarti manusia. Humanus berarti “sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia”.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Konsep Dasar Islam Inklusif

Konsep Islam inklusif sebenarnya telah lahir sejak masa Rasul Muhammad SAW ketika beliau membangun relasi dengan umat non-Muslim yang melahirkan Piagam Madinah, yang mana isi dari perjanjian tersebut memuat gagasan-gagasan Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat madani dengan meletakkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Salah satu pengembang gagasan Islam inklusif di Indonesia adalah Alwi Shibah. Beliau mengungkapkan bahwa yang menyebabkan perselisihan yang telah mewujud dalam sejarah hubungan Muslim-Kristen sejak kedatangannya di Indonesia pada dasarnya terletak pada sejarah panjang saling tidak percaya dan ketiadaan sikap terbuka.[2]

Secara umum, masing-masing memahami dirinya sebagai agama yang mutlak, yang tidak bisa mengakui bahwa agama lain yang disampingnya mempunyai nilai yang sama. Masing-masing bersikukuh bahwa agamanyalah yang unik, superior, normatif, membawa keselamatan, dan satu-satunya wahyu yang sah dari Tuhan. 

Oleh sebab itu, masing-masing pemeluk agama hendaknya mau membuka diri dan berdialog dengan pengikut lain sehingga menghindari kesalahpahaman antar umat. Alwi Shibah mengingatkan dalam berdialog, ada dua komitmen penting yang harus dipegang yaitu toleransi dan pluralism dikarenakan inklusif selalu dihadapkan dengan konteks masyarakat yang plural. [3]

Menurut Alwi, konsep pluralisme adalah sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang kemajemukan namun juga dimaksudkan sebagai keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi namun interaksi diantara mereka khususnya dibidang agama sangat minimal bahkan tidak ada. Ketiga, pluralisme tidak dapat disamakan degan relativisme, karena konsekuensi paham relativisme menjelaskan bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar atau “semua agama adalah sama”. Sedangkan konsep pluralisme tidak menganjurkan ke arah pengakuan bahwa “semua agama adalah sama”, namun hanya sebatas pengakuan terhadap realitas agama lain dan umatnya di luar diri mereka. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[4]

Konsep pluralisme menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur) memiliki pandangan tegas mengenai pluralisme agama yakni:[5]

“Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak akan mungkin berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak-hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganism dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial-budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah . . .”

Dengan demikian, Islam inklusif yang secara umum dapat diartikan Islam yang plural (terbuka), yang mengakui nilai kebenaran dari ajaran lain demi kemaslahatan umat. Islam inklusif bukan berarti membiarkan paham-paham maupun keyakinan lain untuk bercampur dengan Islam, melainkan untuk menjaga keeksistensinya serta mampu membawa umatnya menghadapi tantangan perkembangan zaman dengan sikap terbuka dan percaya diri.

 

B.     Konsep Dasar Pendidikan Islam Humanis-Religius

Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula sebagian besar dari Yunani dan Romawi kuni (aliran filsafat), kemudian berkembang melalui sejarah Eropa. Humanisme menjadi sebagian dasar pendekatan Barat dalam pengetahuan, teori politik, etika dan hukum.

Dalam perkembangan dunia saat ini, humanisme mempunyai dua kategori yaitu humanisme sekuler dan humanisme religius. Humanisme sekuler adalah salah satu hasil pencerahan rasionalisme abad ke-18, dan kebebasan pemikiran pada abad ke-19. Humanisme sekuler melakukan pemberontakan terhadap agama lebih disebabkan karena agama dianggap sering menimbulkan masalah dan tidak mampu mengadvokasi masalah kemanusiaan. Humanisme sekuler mempertahankan prinsip bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan memisahkan agama dari kehidupan sosial.

Humanisme Religius adalah humanisme yang muncul dari budaya etis, unitarianisme, dan universalisme. Secara definitif Abdurrahman Mas’ud mengatakan bahwa humanisme religus adalah “Suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablun min Allah dan hablun min al-nas.” [6]

Dalam konteks pendidikan, humanisme dimaknai sebagai proses pendidikan yang lebih memperkaitkan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, abdullah dan khalifatullah, serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Abdurrahman menawarkan konsep humanisme religius dengan enam aspek yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam yaitu:   

 

1.      Common Sense (akal sehat)

Pemanfaatan akal sehat secara proporsional. Pentingnya akal dan pendengaran, Karena orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah. Namun pendidikan di Indonesia, belum mengembangkan akal sehat bisa terlihat dari pola pendidikan yang lebih berorientasi pada “apa”, what oriented-education, dari pada “mengapa”, why oriented-education. Pembelajaran didominasi dengan metode menghafal bukan metode berpikir kritis (menalar).

2.      Individualisme menuju Kemandirian

Maksud individualisme di sini sangat berbeda dengan arti individualisme yang diartikan sebagai egoisme atau lebih mementingkan diri sendiri, tetapi makna individualisme di sini adalah sesuai dengan syair dalam Bahasa Arab yaitu “sesungguhnya seorang pemuda adalah yang mengandalkan dirinya sendiri, bukanlah seorang pemuda yang membanggakan ayahnya”.

Dengan demikian maksud dari individualisme adalah menjadi individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri tanpa menggantungkan atau mengandalkan orang lain.

3.      Thirst of Knowledge,

Islam adalah agama yang jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan yang berilmu di antara manusia pada posisi mulia. Dalam konsep humanisme religius, manusia merupakan makhluk curious yang senantiasa memiliki rasa ingin tahu, yang sebaiknya rasa ingin tahu tersebut diolah dan diterapkan dalam kebaikan.

4.      Pendidikan Pluralisme

Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia. Islam jelas mendukung pluralisme dan kegiatan-kegiatan cross-culture, saling pemahaman antar budaya dan bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis-agamis yang menjunjung tinggi dan terikat dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya sehingga agama dan multikultural merupakan aspek penting dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Pluralisme menekankan tidak hanya mengakui kemajemukan, tetapi juga terlibat aktif dalam mengisi makna kemajemukan dan kedamaian, serta ikut memecahkan persoalan sosial secara bersama-sama dan bertanggung jawab.

5.      Kontekstualisme Lebih Mementingkan Fungsi dari Simbol

Kehidupan masyarakat lebih cenderung dengan simbol-simbol yang demikian lekat hingga mengalahkan fungsi simbol itu sendiri, maka akan menyebabkan masyarakat lebih berorientasi ke belakang dari pada ke depan.

6.      Keseimbangan antara Reward and Punishment.

Punishment (tindakan disiplin pada anak didik) dan reward bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan ada teori umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu bahwa system punishment dan reward yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan bila memungkinkan dan konsep reward ditekankan pelaksanaannya.[7]

Dengan demikian, individu adalah seseorang yang selalu dalam proses penyempurnaan diri (istikmal) untuk mencapai ranah ke-Tuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial. Diharapkan dengan enam aspek tersebut dapat mengatasi berbagai permasalahan individu sebagai umat Islam pada umumnya dan dalam dunia pendidikan pada khususnya.

 

C.    Urgensi Pendidikan Islam Inklusif-Humanis-Religius

Hakikat pendidikan yang merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia, serta pembentukan pribadi seseorang menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, pendidikan seharusnya bersifat humanis-religius dimana dalam pengembangan kehidupan (ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Nilai keagamaan dan kebudayaan merupakan nilai inti bagi masyarakat yang dipandang sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang harmonis, bersatu, bertoleransi, berkeadilan, dan sejahtera diantara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah.

Menurut Abdurrahman Mas’ud, urgensi humanisme religius diperkenalkan karena beberapa alasan yang merupakan motif dan paradigma lama yang sampai saat ini masih menjadi fenomena sosial, sehingga paradigma humanisme religius perlu dibangun dan dikembangkan dalam proses pendidikan diantaranya:

1.      Keberagamaan yang Cenderung Menekankan Hubungan Vertikal dan Kesemarakan Ritual.

Implikasi dari pola ini adalah realitas sosial yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Sentimental keberagaman komunitas tinggi saat dihubungkan dengan persoalan salat, halal-haram, dan hal yang mengatasnamakan Tuhan, namun akan tumpul bila dihadapkan pada persoalan kemanusiaan, seperti korupsi, ketidakadilan. Masyarakat yang kurang disiplin, kurang bertanggung jawab, statis, dan kurang berorientasi kedepan, menyebabkan masyarakat tidak menjadi problem solvers yang baik bagi persoalan kehidupan. Dengan demikian, seharusnya setiap orang adalah polisi yang bertugas untuk mengamankan diri sendiri dan komunitsnya sehingga tercipta perdamaian dan kesejahteraan bersama. [8]

2.      Kesalehan Sosial yang Masih Jauh dari Orientasi Masyarakat.

Saleh merupakan lawan bagi kata fasad yang berarti berbuat kerusakan. Tafsir Muhammad Asad yang mengartikan la taufsidu fil ardl (jangan menyebarkan korupsi di bumi). Berhubungan dengan kaum Madinah yang berpura-pura sebagai muslihun (orang saleh) namun melakukan perbuatan perusakan, sehingga mereka tidak memiliki trust. Di Indonesia contohnya pada saat membeli barang, bila sudah terbeli maka dalam waktu semalam sudah tidak dapat dikembalikan, inilah bukti tingkat distrust yang tinggi. Untuk mencapai sebuah trust perlu upaya serius pelembagaan nilai melalui pendidikan, gerakan kultural, dan niat politik melalui suri teladan (uswatun hasanah) pemerintah.[9]

3.      Potensi Peserta Didik Belum Dikembangkan secara Proporsional, Pendidikan Belum Berorientasi pada Pembangunan Sumber Daya Manusia atau Belum Individual Oriented.

Sejak decade 80-an telah diperkenalkan CBSA (cara belajar siswa aktif), namun pengalaman lapangan menunjukan bahwa siswa tetap tidak aktif. Tidak efektifnya metode ini disebabkan banyak hal, mulai dari guru yang belum siap, sumber buku yang tidak cocok, serta alasan kultural lainnya. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada masih berorientasi pada pembangunan fisik daripada pembangunan karakter peserta didik.[10]

4.      Kemandirian Anak Didik dan Tanggung Jawab (Responsibility) Masih Jauh dalam Pencapaian Dunia Pendidikan.

Kemandirian anak didik dipersulit dengan metode pendidikan yang secara umum masih punishment-oriented daripada reward-oriented. Ketimpangan proses pendidikan ini melahirkan anak didik yang tidak kreatif, penakut, tidak percaya diri, dan selalu menggantungkan diri pada orang lain. Karena proses pendidikan yang ada lebih banyak menakuti dan menghukum siswa daripada mengapresiasi siswa sebagai individu yang utuh.  Pendidikan di rumahpun sama halnya, dimana rata-rata orang tua tidak mengarahkan anak untuk mandiri. Nampak dari tradisi menyuapi anak hingga usia lima atau enam tahun. Berbeda sekali dengan pola pendidikan di negara maju dimana anak dibiasakan untuk makan sendiri setelah berusia dua tahun agar anak betul-betul terbiasa mandiri sejak usia dini.[11]

 

D.    Karakteristik Perkembangan Religiusitas, Kognitif, Bahasa, Sosial, dan Fisik Peserta Didik Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Anak usia sekolah dapat diartikan sebagai anak yang berada dalam rentang usia 6-12 tahun. Ada beberapa karakteristik perkembangan anak di usia sekolah yang perlu diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat SD atau MI. Sebagai guru harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya, maka sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya.

Karakteristik perkembangan anak pada usia SD/MI biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan. Mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dapat menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan dan matanya untuk dapat memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia kelas awal SD, antara lain mereka telah dapat menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.[12]

Untuk perkembangan bahasa, bagi anak usia sekolah dasar minimal dapat menguasai tiga kategori, yaitu: pertama, dapat membuat kalimat yang lebih sempurna; kedua, dapat membuat kalimat majemuk; dan ketiga, dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan. Pada awal masa ini, anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir anak telah dapat menguasai sekitar 5000 kata.[13]

Perkembangan kognitif pada hakekatnya adalah perkembangan kemampuan penalaran logis. Peserta didik mulai berpikir secara hipotesis dalam menyelesaikan masalah yaitu mencari sumber permasalahan, mengkaji dan mencari alternative pemecahannya. Adapun karakteristik perkembangan intelektual pada usia sekolah, yaitu:[14]

1.      Anak SD sudah mulai berpikir konkret dan rasional. Tanda-tanda anak SD berpikir konkret: mengelompokkan benda berdasar ciri yg sama, menyusun/mengasosiasikan angka-angka bilangan, dan memecahkan masalah sederhana.

2.      Menyimpulkan, menduga, elaborasi (generating).

3.      Identifikasi ciri penting (analyzing). Mengurutkan, membedakan, mengelompokkan (organizing).

4.      Mengingat dengan berbagai cara (remembering).

Perkembangan religiusitas. Pada masa sekolah kesadaran beragama ditandai dengan ciri:

1.      Sikap keagamaan anak masih bersifat reseptif namun sudah disertai pengertian.

2.      Pandangan dan paham ketuhanan diperoleh secara rasional sesuai logika.

3.      Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.

4.      Sampai usia 10 tahun, kesadaran beragama anak hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungan.

5.      Usia 10 tahun ke atas semakin bertambah kesadaran akan fungsi agama baginya. Oleh karena itu, anak mulai menerima nilai agama lebih tinggi dari nilai yang lainnya.

6.      Kualitas keagamaan anak dipengaruhi oleh proses pembentukan dan pendidikan yg diterimanya.Pendidikan agama di SD merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan pembentukan kepribadian dan akhlak anak.[15]

E.     Implementasi Konsep Pendidikan Islam Inklusif-Humanis-Religius Untuk Pembelajaran Fikih MI Kurikulum 2013

Fikih adalah pemahaman atas syari’at agama terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan manusia yang ditemukan dalil-dalilnya secara terperinci. Selain itu, fikih adalah ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran relatif maka tidak memiliki kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu, pengembangan dan pembelajaran fikih hendaknya menekankan pada pembelajaran yang inklusif, toleran, dan menghargai perbedaan pendapat.[16] 

Al-Qur’an mengusung kesadaran mengenai adanya kemajemukan keagamaan (religius pluralism), yang mendasari sikap toleransi, keterbukaan, dan kejujuran yang menonjol terhadap agama lain seperti pernah ditampilkan dalam sejarah Islam. Ini mengandung arti kita dituntut menyikapi segala bentuk perbedaan dengan baik, wajar, dan tulus sebagai sarana fastabiqul khairat, percaya bahwa menghargai keberadaan orang lain dan segala perbedaannya tidak otomatis menghilangkan eksistensi diri karena kita justru semakin bisa mengenali diri sendiri ketika kita semakin mengenali yang lain, dan membangun komunikasi secara baik dan penuh keterbukaan (dialog) dengan kelompok yang berbeda. pembelajaran fiqih dan tafsir al-Qur’an tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqāran (perbandingan). Ini menjadi sangat penting, karena siswa tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan (argumen-dalil) tentang mengapa bisa berbeda.[17]

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Pendidikan agama Islam di era globalisasi saat ini diharapkan responsive terhadap kemajemukan agama, budaya, dan masyarakat di Indonesia, karena Islam yang sejatinya adalah rahmat bagi seluruh alam.

Islam inklusif yang bermakna plural (terbuka), yang mengakui nilai kebenaran dari ajaran lain demi kemaslahatan umat bersama, dapat mewujudkan masayarakat yang saling menghargai dan menghormati antar agama. Sedangkan, Islam yang humanis-religius dapat memberikan pembelajaran memanusiakan manusia sehingga dapat menjadikan hamba Allah yang bertakwa sekaligus sebagai khalifah Allah yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Perwujudan implementasi dalam pendidikan Islam menekankan aspek Common Sense (Akal Sehat), Individualisme Menuju Kemandirian, Thirst of Knowledge (Semangat Mencari Ilmu), Pendidikan Pluralisme, Kontekstualisme Lebih Mementingkan Fungsi dari Simbol, dan Keseimbangan antara Reward and Punishment.

Implementasi pembelajaran fikih dalam konsep Islam inklusif, humanis dan religius yang mana fikih adalah ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran relatif maka tidak memiliki kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu, pembelajaran fikih menggunakan pendekatan muqāran (perbandingan).

Pentingnya Pendidikan agama Islam inklusif, humanis dan religius untuk dilaksanakan dalam pendidikan Madrasah Ibtidaiyah untuk menghilangkan prasangka buruk terhadap agama lain serta dapat mewujudkan pembangunan karakter yang penuh toleransi untuk mencapai kerukunan dan kemaslahatan bersama.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

A. Mangunhadjana. Isme-Isme Dari A Sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Abdul Madjid. Pembelajaran Tematik-Terpadu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam). Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Andi Prastowo. Pembelajaran Konstruktivistik-Scientific Untuk Pendidikan Agama Di Sekolah/Madrasah. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Arif, Mahmud. “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural.” Jurnal Pendidikan Islam 1 (2012). http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/index.php/JPI/article/download/1110/1006.

Etika Husnul, dkk. “Perkembangan Anak Usia Sekolah,” 2016. https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/3DPerkembangan_Anak_Usia_Sekolah.pdf.

Shibah, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.

Syarif Hidayatullah. Islam “Isme-Isme” : Aliran Dan Paham Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

 

 

 

 



[1] A. Mangunhadjana, Isme-isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 93

[2] Syarif  Hidayatullah, Islam “Isme-isme” : Aliran dan Paham Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),  hlm.110

[3] Ibid, hlm.113

[4] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 40-43

[5] Syarif Hidayatullah, Islam “Isme-isme” : Aliran dan Paham Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),  hlm. 202

[6] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 135

[7] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 172

 

[8] Abdurrahman, Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 144-148

[9] Ibid, hlm. 148-149

[10] Ibid, hlm. 150-151

[11] Ibid, hlm. 151-154

[12] Abdul Madjid, Pembelajaran Tematik-Terpadu. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 7

[13] Etika Husnul, “Perkembangan Anak Usia Sekolah”, diunduh tanggal 24 Februari 2018 di https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/3DPerkembangan_Anak_Usia_Sekolah.pdf.

[14] Etika Husnul, “Perkembangan Anak Usia Sekolah”, diunduh tanggal 24 Februari 2018 di https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/3DPerkembangan_Anak_Usia_Sekolah.pdf.

[15] Etika Husnul, “Perkembangan Anak Usia Sekolah”, diunduh tanggal 24 Februari 2018 di https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/3DPerkembangan_Anak_Usia_Sekolah.pdf

[16] Andi Prastowo, Pembelajaran Konstruktivistik-Scientific untuk Pendidikan Agama di Sekolah/Madrasah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 324

[17] Mahmud Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural”, Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 1, Juni 2012/1433. Diunduh pada tanggal 5 maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar