MAKALAH
JUAL BELI DAN RUANG LINGKUPNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Fikih MI
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fikih MI. Makalah yang
berjudul “Jual Beli dan Ruang Lingkupnya” ini membahas tentang pengertian jual beli, ruang lingkup materi jual beli dalam ilmu Fikih,
ruang lingkup materi jual beli menurut kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di
Madrasah Ibtidaiyah, kedalaman materi jual beli
dalam kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI menurut taksonomi bloom, kesesuaian
ruang lingkup jual beli dengan
karakteristik perkembangan
peserta didik, dan kesesuaian
kedalaman antara materi jual beli dengan standar isi dalam kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Dalam menjawab permasalahan
tersebut, makalah ini bersifat kepustakaan. Data penulisan makalah ini
diperoleh dengan metode studi kepustakaan (Library Research). Metode studi
kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka buku-buku yang
berkaitan dengan penulisan makalah ini. Tidak hanya itu, untuk menambah bahan
kajian penulisan makalah ini, penulis juga mencari sumber-sumber referensi
makalah dari berbagai sumber yang mendukung.
Jual beli merupakan suatu kegiatan yang digunakan untuk
menunjang pemenuhan kebutuhan di kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk
sosial. Aturan jual beli sudah diatur sesuai ajaran islam dan syari’at islam.
Syari’at tersebut digunakan agar tercipta kemaslahatan umat manusia. Dalam
pembelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah, materi jual beli kurikulum 2013
diajarkan pada kelas VI semester 2. Adapun pembahasan materinya mengenai arti
dan hukum dari jual beli, syarat dan rukun jual beli, jual beli yang
diperbolehkan dan dilarang dalam Islam, dan khiyar dalam jual beli. Ruang lingkup materi tersebut sudah kontekstual dengan kehidupan sehari-hari peserta
didik karena usia kelas VI sudah mengenal jual beli.
Yogyakarta, 12 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Abstrak............................................................................................................. ii
Kata Pengantar................................................................................................. iii
Daftar Isi.......................................................................................................... iv
BAB I: PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................................... 2
D.
Kerangka Teori..................................................................................... 3
BAB II: PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli.............................................................................. 5
B.
Ruang Lingkup Jual Beli dalam
Ilmu Fikih.......................................... 6
C.
Ruang Lingkup Jual Beli pada
Mata Pelajaran Fikih Menurut
Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI..................................... 22
D.
Kedalaman Materi Jual Beli dalam Kurikulum 2013
PAI
dan Bahasa Arab di MI Menurut Taksonomi Bloom........................... 24
E.
Kesesuaian
Ruang Lingkup Jual Beli dengan
Karakteristik
Perkembangan
Peserta Didik................................................................ 26
F.
Kesesuaian
Kedalaman antara Materi Jual Beli dengan
Standar
Isi dalam
Kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI....... 26
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 27
Daftar Pustaka.................................................................................................. 28
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
diciptakan menjadi makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain untuk
pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia menggunakan
cara yakni jual beli. Jual beli pada zaman dahulu menggunakan sistem barter
yaitu tukar menukar antar barang, seiring berjalannya waktu mulai muncul
menggunakan mata uang yang digunakan sampai sekarang.
Sejak
zaman Rasulullah SAW sudah berlaku jual beli, walalupun untuk saat ini sudah
berbeda-beda bentuknya. Jual beli mengalami perkembangan seiring dengan
pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli harus disesuaikan dengan
aturan syari’at islam agar menuju kemaslahatan umat. Begitu pula Rasulullah
yang terkenal sebagai pedagang yang sukses karena lebih mengedepankan maqasid
syari’ah. Sesuai dengan Firman Allah yakni Al-qur’an Surat Al Baqarah ayat 275
yang berbunyi sebagai berikut:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya
: “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
Jual telah diperbolehkan akan tetapi
Allah melarang Riba. Pembelajaran jual beli baik disampaikan sejak dini, agar
peserta didik mengetahui aturan yang ada. Sebab jual beli tidak dapat
ditinggalkan dari kehidupan sehari-hari. Sehingga, apabila materi jual beli
diberikan pada peserta didik MI sudah relevan dengan kehidupan sehari-harinya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
1.
Apakah pengertian jual beli?
2.
Apa saja ruang lingkup jual beli dalam ilmu Fikih?
3.
Apa saja ruang
lingkup jual beli pada mata pelajaran Fikih menurut kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI?
4.
Bagaimana kedalaman materi jual
beli dalam kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI menurut taksonomi bloom?
5.
Bagaimana kesesuaian ruang
lingkup jual beli dengan
karakteristik perkembangan
peserta didik?
6.
Bagaimana kesesuaian
kedalaman antara materi jual beli dengan standar
isi dalam
kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui pengertian jual beli
2.
Mengetahui ruang lingkup jual beli dalam ilmu Fikih
3.
Mengetahui ruang
lingkup jual beli pada mata pelajaran Fikih menurut kurikulum 2013 PAI dan
Bahasa Arab di MI
4.
Mengetahui kedalaman materi jual
beli dalam kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI menurut taksonomi bloom
5.
Mengetahui kesesuaian ruang
lingkup jual beli dengan
karakteristik perkembangan
peserta didik
6.
Mengetahui kesesuaian
kedalaman antara materi jual beli dengan standar
isi dalam
kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
D. Kerangka Teori
A.
Pengertian
Jual Beli
Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini
diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran
sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
B. Ruang
Lingkup Jual Beli dalam Ilmu Fikih
Ruang
lingkup jual beli dalam ilmu Fikih yang dibahas dalam makalah ini meliputi:
macam-macam jual beli, rukun dan syarat jual beli, khiyar dalam jual beli, jual
beli yang dilarang dalam Islam, riba, hikmah dihalalkannya jual beli dan
diharamkannya riba.
C. Ruang Lingkup Jual Beli pada Mata Pelajaran Fikih
Menurut Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Ruang
lingkup materi jual beli pada mata
pelajaran Fikih menurut kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di Madrasah
Ibtidaiyah yaitu menjelaskan dan mempraktikkan tata cara jual beli, terdapat
pada kelas VI semester 2.
D. Kedalaman Materi Jual Beli
dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI Menurut Taksonomi Bloom
Terdapat tiga tujuan pembelajaran Fikih dalam materi
jual beli kurikulum 2013 mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab di MI, yaitu: menjelaskan arti
dan hukum jual beli, menjelaskan rukun dan syarat jual beli dan menjelaskan
jual beli yang diperbolehkan dan yang dilarang dan khiyar. Tujuan 1, 2 dan 3
berdasarkan dimensi proses kognitif sama-sama berada pada ranah memahami.
Sementara itu, apabila dilihat dari segi dimensi pengetahuan, tujuan 1 dan 2
berada pada kategori pengetahuan faktual, sedangkan tujuan 3 berada pada
kategori pengetahuan prosedural.
E. Kesesuaian Ruang Lingkup Jual
Beli dengan Karakteristik
Perkembangan Peserta Didik
Ruang lingkup materi pada jual beli sudah kontekstual dengan kehidupan
sehari-hari peserta didik karena usia kelas VI sudah mengenal jual beli.
Sehingga materi tentang jual beli perlu disampaikan pada tingkat MI agar peserta
didik memiliki pengetahuan tentang hukum, syarat, dan rukun jual beli serta jual beli yang dibolehkan dan
dilarang dan khiyar.
F. Kesesuaian Kedalaman antara Materi Jual Beli Dengan Standar Isi dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Kedalaman materi jual beli sudah sesuai dengan standar isi dalam kurikulum
2013 PAI dan Bahasa Arab MI yang tercantum dalam Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli
Menurut
kitab Fathul mu’in karangan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz dijelaskan:
menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta pada wajah
tertentu. Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini
diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran
sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta
diartikan sebagai sesuatu yang memiliki manfaat serta ada kecenderungan manusia
untuk menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau
ungkapan ijab dan qabul.[1]
Jual
beli pada dasarnya merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama. Diantara
dalil yang membolehkan praktik akad jual beli adalah sebagai berikut,
Al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya
: “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
Ayat
tersebut menjelaskan tentang dasar kehalalan (kebolehan) hukum jual beli dan
keharaman (menolak) riba. Allah SWT adalah dzat yang Maha Mengetahui atas
hakikat persoalan kehidupan. Maka, jika dalam suatu perkara terdapat
kemaslahatan, maka akan diperintahkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika
menyebabkan kemudharatan, maka Allah SWT akan melarangnya.
Para
ulama dan seluruh umat Islam telah sepakat tentang dibolehkannya jual beli,
karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia pada umumnya. Dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari, tidak semua manusia memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa
yang dibutuhkannya kadangkala berada di tangan orang lain. Adanya jual beli
menjadikan manusia saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi akan berjalan dengan positif karena apa
yang mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak.[2]
Apabila
tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kecuali
dengan jalan jual beli, hukum jual beli menjadi wajib. Selain itu, hukum jual
beli juga dapat menjadi sunnah, makruh dan haram. Jual beli yang hukumnya
sunnah terjadi misalnya pada petani yang melakukan jual beli pada waktu-waktu
kosong (saat tidak bertani) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu
sesama. Jual beli yang hukumnya makruh terjadi misalnya pada muamalah yang
dilakukan dengan orang yang tidak baik. Jual beli yang hukumnya haram terjadi
apabila melakukan jual beli yang dilarang dalam agama Islam.
B.
Ruang Lingkup Jual Beli dalam Ilmu Fikih
1.
Macam-macam Jual Beli
Menurut
Imam Syafi’i, jual beli dibagi menjadi tiga macam, yaitu:[3]
a.
Jual
beli barang yang dapat dilihat mata, hukumnya boleh.
b.
Jual
beli yang digambarkan dalam jaminan (jual beli salam atau pesanan) Hukumnya
boleh jika gambaran itu sesuai dengan barangnya.
Salam adalah salah satu bentuk jual
beli dimana mata uang harga barang dibayarkan secara tunai, sedangkan barang
yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan
pada waktu perjanjian tersebut. [4] Jual beli dengan cara
salam dapat dibenarkan dengan pembayaran kontan atau tidak kontan (ditunda
setelah barang pesanan diterima), jika memenuhi lima syarat berikut:[5]
1)
Barang
yang dipesan dijelaskan sifatnya
2)
Barang
tersebut terdiri atas satu jenis tidak bercampur dengan jenis lain
Penjualan
terdiri atas satu jenis tidak bercampur dengan jenis lain, berarti tidak
menggabungkan dua penjualan dalam satu penjualan. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
menjual dua penjualan dalam satu penjualan, maka baginya yang paling ringan
diantara keduanya atau menjadi riba.” [6]
3)
Barang
tersebut tidak disuluti api saat memindahkannya
4)
Barang
tersebut tidak ditentukan (bukan sampel)
5)
Barang
tersebut bukan termasuk barang yang ditentukan (dijadikan sampel)
Dalil pokok tentang salam (pemesanan
barang) terdapat pada Q.S Al-Baqarah: 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...”
Sementara itu, barang yang dipesan (al-muslam
fihi) dapat diterima apabila memenuhi delapan syarat berikut:[7]
1)
Sifat-sifat
yang digambarkan setelah disebutkan berbagai jenis dan macamnya sesuai dengan
harganya
2)
Ukurannya
disebutkan sehingga diketahui besarnya
3)
Jika
ditunda penyebutan ukurannya, ia harus disebutkan pada saat akan ditempatkan
(pengiriman barang)
4)
Barang
tersebut pada galibnya sudah ada (sudah jadi) ketika akan dilunasi
5)
Disebutkan
tempat penyerahan barang yang dipesan
6)
Harga
barang diketahui
7)
Melakukan
serah terima barang sebelum berpisah
8)
Akad
salam terjadi tanpa disertai khiyar
syarat
c.
Jual
beli barang yang ghaib (tidak dapat dilihat mata). Hukumnya tidak boleh. [8]
Menurut Imam Syafi’i, jual beli yang
tidak ada di majelis akad (ghaib), hukumnya tidak sah sama sekali. Baik
sifatnya disebutkan maupun tidak. Alasannya adalah hadis Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, "Rasulullah
telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu
kecil) dan jual beli barang secara gharar." (Shahih: Muktashar Muslim
no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294, Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349.
no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan
Nasa’i VII: 262).
Disamping mengandung unsur gharar (penipuan) karena ketidakjelasan objek,
jual beli tersebut juga termasuk jual beli barang yang tidak ada pada tangan
seseorang, yakni tidak ada di majelis akad dan tidak dapat dilihat pembeli. Namun,
ulama Hanafiyah menyanggah alasan yang dikemukan oleh Imam Syafi’i dengan
mengatakan bahwa ketidakjelasan obyek akad yang tidak dapat dilihat, tidak akan
menimbulkan perselisihan secara mutlak selama pembeli berhak mengembalikannya. Apabila setelah dilihat barangnya tidak sesuai dengan seleranya,
akad jual beli menjadi batal. Kebalikannya, apabila setelah dilihat barangnya
sesuai dengan selera pembeli, akad jual beli dapat dilakukan. [9]
2.
Rukun dan Syarat Jual Beli
a.
Rukun Jual Beli
Menurut
Jumhur ulama, rukun jual beli terdiri atas:[10]
1)
‘Aqid (Penjual dan Pembeli)[11]
Secara umum, penjual dan pembeli
harus orang yang memiliki kecakapan dan wilayah (kekuasaan). Selain itu, orang
yang melakukan akad harus berbilang
(tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang
mewakili dua pihak, hukumnya tidak sah. Hal ini dikarenakan dalam jual beli
terdapat dua hak, yaitu menerima dan menyerahkan. Merupakan hal mustahil
apabila pada saat yang sama satu orang bertindak sebagai penjual yang
menyerahkan barang dan sekaligus menjadi pembeli yang menerima barang.
2)
Ijab Qabul[12]
Ijab adalah pernyataan yang timbul
dari orang yang memberikan kepemilikan, meskipun keluarnya belakangan.
Sedangkan qabul adalah pernyataan yang timbul dari orang yang akan menerima hak
milik, meskipun keluarnya pertama. Dalam konteks jual beli, yang memiliki
barang adalah penjual, sedangkan yang memilikinya adalah penjual. Dengan
demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab, meskipun
datangnya belakangan. Sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli adalah
qabul, meskipun dinyatakan pertama kali.
3)
Ma’qud ‘Alaih
(Objek Akad Jual Beli)[13]
Ma’qud ‘alaih atau objek akad jual
beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga /uang (tsaman).
b.
Syarat Jual Beli
Sedangkan syarat jual beli, terdiri atas:[14]
1)
Syarat Terjadinya Akad (In’iqad)[15]
Syarat in’iqad adalah syarat
yang harus dipenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’. Apabila
syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli akan menjadi batal. Hanafiyah
mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli, yaitu:
a)
Syarat
‘Aqid (Orang yang Melakukan Akad)
‘Aqid harus berakal, maka tidak sah
akad yang dilakukan oleh orang gila dan anak yang belum berakal. Hanafiyah
tidak mensyaratkan ‘aqid harus baligh. Dengan demikian, akad yang dilakukan
oleh anak yang mumayyiz (mulai umur tujuh tahunan) tetap sah.
b)
Syarat
Akad (Ijab dan Qabul)
Syarat akad yag sangat penting
adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa
yang di-ijab-kan (dinyatakan) oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan antara
qabul dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang
dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.
c)
Syarat
Tempat Akad
Syarat yang berkaitan dengan tempat
akad adalah ijab qabulnya harus terjadi pada satu majelis. Apabila ijab qabul
berbeda majelisnya, maka akad jual beli tidak sah.
d)
Syarat
Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)
1.
Barang
yang dijual harus maujud (ada). Oleh karena itu, tidak sah jual beli
barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Seperti jual beli anak unta
yang masih dalam kandungan, atau jual beli buah-buahan yang belum tampak.
Anak binatang yang masih dalam perut
induknya tidak boleh dijual secara terpisah. Karena Rasulullah saw melarang
jual beli gharar. Jual beli semacam ini termasuk gharar (tidak jelas). Sebab,
bisa jadi anak yang ada dalam kandungan berjumlah satu atau lebih, bisa jantan
bisa juga betina, bisa keluar dalam keadaan hidup bisa juga keluar dalam
keadaan mati.
2.
Barang
yang dijual harus barang yang dapat dikuasai secara langsung dan dapat
dimanfaatkan. Oleh karena itu, tidak sah jual beli babi, darah dan bangkai.
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukan,
ketika beliau masih berada di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi dan berhala. Lalu beliau ditanya:
Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat
perahu, meminyaki kulit dan untuk menyalakan lampu? Beliau menjawab: Tidak
boleh, ia tetap haram. Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah membinasakan
orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah swt. ketika mengharamkan lemak bangkai
kepada mereka, mereka lalu mencairkannya dan menjualnya serta memakan harganya.
(Shahih Muslim No.2960)
3.
Barang
yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Oleh karena itu, tidak sah
menjual barang yang belum dimiliki oleh seseorang.
Dalil dari As-Sunah adalah Sabda
Rasulullah saw kepada Hukaim bin Hizam yang artinya: “Janganlah engkau
menjual sesuatu yang bukan kepunyaanmu.”
4.
Barang
yang dijual harus dapat diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Oleh
karena itu tidak sah jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti
kerbau yang hilang, burung di udara dan ikan di laut.
Firman
Allah Q.S Al-Maidah: 90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”
Berdasarkan ayat diatas,
menjual sesuatu yang tidak dapat diserahkan termasuk kategori judi.
Gambarannya, menjual sesuatu yang tidak dapat diserahkan biasanya menggunakan
harga lebih rendah daripada harga normal. Misalnya, diperkirakan barang
dagangan harganya seratus jika dapat diserahkan, maka ia akan dijual seharga
lima puluh jika tidak dapat diserahkan. Dengan demikian, pembeli berpotensi
meraih laba besar, tetapi juga berpotensi mengalami kerugian. Jika dia mampu
mendapatkannya, maka dia beruntung. Jika dia tidak mendapatkannya, maka dia
rugi. Inilah kaidah perjudian. [16]
2)
Syarat Sah Jual Beli[17]
Secara umum, akad jual beli harus
terhindar dari enam macam’aib, yaitu: ketidakjelasan,
pemaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudharatan dan syarat-syarat yang merusak.
3)
Syarat Keberlangsungan Jual Beli[18]
1)
Kepemilikan
atau Kekuasaan
2)
Pada
benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain
3.
Khiyar dalam Jual Beli
Khiyar
adalah pilihan untuk
melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Hal ini dikarenakan adanya catat
pada barang yang dijual atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab
lain. Tujuan diadakannya khiyar adalah untuk mewujudkan kemaslahata bagi kedua
belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena
sama-sama rela atau setuju.[19] khiyar hukumnya dibolehkan berdasarkan sunnah
Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut antara adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Penjual
dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya. Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda: atau terjadi jual beli khiyar.
Secara
umum, khiyar dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu:[20]
a.
Khiyar
Majelis[21]
Pengertian khiyar majelis sebagaimana dikemukakan oleh Sayid
Sabiq adalah suatu khiyar yang diberikan kepada kedua belah pihak yang
melakukan akad untuk melakukan akad untuk meneruskan atau membatalkan jual beli
selama mereka masih berada di majelis akad, setelah terjadinya ijab dan qabul.
b.
Khiyar
Syarat[22]
Khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar
dimana para pihak yang melakukan
akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua
atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau
membatalkannya. Sebab-sebab berakhirnya khiyar syarat adalah adanya pembatalan
akad dan melewati batas waktu khiyar yang telah disepakati/ditetapkan.[23] Menurut Syafi’iyah, masa khiyar syarat adalah tiga hari atau kurang, dengan
syarat harus bersambung dengan syarat khiyar dan berturut-turut. Apabila masa khiyar tidak jelas ketentuannya, maka akad jual beli
menjadi batal.
.
c.
Khiyar ‘Aib[24]
Khiyar ‘aib adalah suatu bentuk khiyar untuk meneruskan atau
membatalkan jual beli karena adanya cacat pada barang yang dibeli, meskipun
tidak disyaratkan khiyar. Khiyar
‘aib ada dua macam, yaitu:
1)
‘Aib
karena perbuatan atau ulah manusia, seperti susu dicampur dengan air, atau
mengikat tetek susu hewan supaya air susunya kelihatan banyak sehingga pembeli
menjadi terkecoh.
2)
‘Aib
karena pembawaan alam, bukan karena buatan manusia. ‘Aib karena pembawaan alam
ini dibagi menjadi dua macam, yaitu zahir (kelihatan) dan batin. Contoh ‘aib
zahir adalah seperti lemahnya hewan untuk mengangkat barang menurut ukuran adat
kebiasaan. Sedangkan contoh ‘aib batin adalah busuknya telur.
d.
Khiyar Ru’yah[25]
Khiyar ru’yah adalah khiyar atau pilihan untuk meneruskan akad
atau membatalkannya, setelah barang yang menjadi objek akad dilihat oleh
pembeli. Hal ini terjadi pada kondisi dimana barang yang menjadi objek akad
tidak ada di majelis akad. Kalaupun ada, hanya contohnya saja, sehingga pembeli
tidak tahu apakah barang yang dibelinya baik atau tidak. Setelah pembeli
melihat langsung kondisi barang miliknya, apabila setuju, ia dapat meneruskan
jual belinya. Namun, apabila tidak setuju, ia boleh mengembalikan kepada
penjual , dan jual beli dibatalkan.
Jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabillah serta Zhahiriyah membolehkan khiyar ru’yah ini, dengan alasan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang membeli sesuatu yang tidak
dilihatnya maka ia berhak melakukan khiyar apabila ia melihatnya.
4.
Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
a.
Jual Beli yang Dapat Menjauhkan Diri dari Ibadah[26]
Apabila pedagang
menyibukkan diri dengan jual belinya sehingga kehilangan waktu sholat atau sengaja
mengakhirkannya, maka jual beli yang dilakukan dilarang.[27] Allah
swt berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah: 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada
hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
b.
Menjual Barang-barang yang Diharamkan[28]
Ketika Allah swt
mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harga (pembayaran) dari
sesuatu tersebut, yakni menjual barang-barang yang dilarang untuk dijual.[29]
Rasulullah saw telah melarang untuk menjual bangkai, arak, babi dan patung.
Seseorang yang menjual bangkai, yaitu daging binatang yang tidak disembelih
secara syar’i maka dia termasuk orang yang menjual bangkai dan mendapat harga
pembayaran yang haram.
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukan,
ketika beliau masih berada di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi dan berhala. Lalu beliau ditanya:
Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat
perahu, meminyaki kulit dan untuk menyalakan lampu? Beliau menjawab: Tidak
boleh, ia tetap haram. Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah membinasakan
orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah swt. ketika mengharamkan lemak bangkai
kepada mereka, mereka lalu mencairkannya dan menjualnya serta memakan harganya.
(Shahih Muslim No.2960)
c.
Menjual
Sesuatu yang Tidak Dimiliki[30]
Rasulullah saw telah melarang cara jual beli seperti ini, yakni ketika
suatu saat Hakim bin Hizam r.a menghadap Nabi saw dan bertanya, “Wahai
Rasulullah, seseorang telah datang kepadaku untuk membeli barang dariku
sementara aku tidak memiliki barang itu. Kemudian aku pergi ke pasar untuk
membeli barang tersebut dan ku serahkan padanya.” Lalu Nabi saw bersabda, “Janganlah
engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”
d.
Jual Beli
‘Inah[31]
Kata ‘inah menurut al-Jauhari bermakna pinjaman atau hutang. Dia
mengatakan bahwa ‘inah disini adalah jika ada seorang pedagang menjual
barangnya kepada orang lain dengan pembayaran secara bertempo, kemudian dia
(penjual) membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah. [32]
e.
Jual Beli
Najasy[33]
Makna najasy adalah menawar suatu barang dagangan dengan
menambah harga secara terbuka, ketika datang seorang pembeli dia menawar lebih
tinggi barang itu padahal dia tidak ingin membelinya. Tujuannya adalah agar
pembeli tersebut membeli barang itu lebih tinggi lagi. Selain itu juga
bertujuan untuk menipu para pembeli baik itu dilakukan melalui kerjasama dengan
penjual atau atas kemauan sendiri. Barangsiapa menawar barang dagangan padahal
dia tidak bermaksud membelinya dan tujuannya adalah agar pembeli mengikutinya
membayar mahal, maka orang tersebut disebut najasy (pelaku najasy).
Nabi saw bersabda, “Janganlah kalian menambah harga suatu barang.”
f.
Melakukan
Penjualan atas Penjualan Orang Lain[34]
Nabi saw bersabda,“ Janganlah sebagian dari kalian melakukan
penjualan atas penjualan sebagain dari yang lain.” Penjualan yang dimaksud
misalnya, seseorang mendatangi seorang pedagang untuk membeli suatu barang
dengan khiyar (memilih membatalkan atau
meneruskan akad) selam adua hari, tiga hari atau lebih. Maka tidak dibolehkan
kepada pedagang lain untuk mendatangi atau menawarkan kepada pembeli dengan
berkata, “Tinggalkanlah barang yang sedang engkau beli dan saya akan memberikan
kepadamu barang yang sama lebih bagus dan lebih murah.”
Membeli sesuatu yang sudah dibeli orang lain juga diharamkan. Apabila
seseorang membeli barang kepada pedagang dengan harga yang ditentukan, dan
pedagang itu memberi masa khiyar dan
waktu tertentu, maka tidak dibolehkan bagi pembeli lain untuk masuk dan pergi
kepada pedagang tersebut dan berkata, “saya akan membeli barang ini dengan
harga yang lebih mahal daripada pembeli pertama yang telah membelinya darimu.”
g.
Jual Beli
secara Gharar (Penipuan)[35]
Maksud jual beli gharar adalah apabila penjual menipu saudara sesama
muslim dengan cara menjual barang dagangan yang didalamnya terdapat cacat.
Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi tidak memberitahukannya kepada
pembeli. Cara jual beli seperti ini tidak diperbolehkan karena mengandung unsur
penipuan, pemalsuan dan pengkhianatan.
5.
Riba
Riba secara bahasa berasal dari kata
“raba” yang sinonimnya nama wa zada, artinya tumbuh dan tambah.
Sedangkan menurut istilah, riba adalah suatu kelebihan yang terjadi dalam tukar
menukar barang yang sejenis atau jual beli barter tanpa disertai dengan imbalan
dan kelebihan tersebut disyaratkan dalam perjanjian. Dengan demikian, apabila
kelebihan tersebut tidak disyaratkan dalam perjanjian maka tidak termasuk riba.[36] Misalnya, seseorang
mempunyai hutang sebesar Rp1.0000.000,00, ketika hutang tersebut dibayar,
sebagai tanda terima kasih ia memberikan tambahan sebesar Rp100.000,00 sehingga
jumlah pengembaliannya menjadi Rp1.100.000,00 maka kelebihan tersebut bukan
termasuk riba.
Riba
hukumnya haram, berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’.
Dalam
Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat.
Q.S Al-Baqarah: 278
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Q.S
Ali Imran: 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Riba Fadhal
Riba Fadhal adalah
tamabahan yang disyaratkan dalam tukar menukar barang yang sejenis (jual beli barter)
tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Misalnya, menukarkan beras ketan
10 kg dengan beras ketan 12 kg. Tambahan 2 kg tersebut tidak ada imbalannya,
oleh karena itu disebut dengan riba fadhal (riba karena kelebihan). Dengan
demikian, apabila barang yang ditukarkan jenisnya berbeda hukumnya dibolehkan
dan tidak termasuk riba. Misalnya menukarkan beras biasa 10 kg dengan beras
ketan 8 kg. [37]
Dari Abu Bakrah ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas
kecuali sama timbangannya, dan perak dengan perak kecuali sama timbangannya.
Dan juallah emas dengan perak dan perak dengan emas sesuai dengan kehendakmu.
(H.R Al-Bukhari)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum
dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir,
kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran
atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai) Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
Dalam hadis tersebut disebutkan enam jenis barang yang termasuk
kelompok ribawi, yaitu: emas, perak, gandum, jagung, kurma dan garam.[38]
b.
Riba Al-Yad
Riba Al-Yad adalah riba
jual beli yang penukarannya tidak terjadi kelebihan, tetapi salah satu pihak
meninggalkan majelis akad sebelum terjadi penyerahan barang atau harga.[39]
c.
Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah
tambahan yang disebutkan dalam perjanjian penukaran barang (jual beli barter)
sebagai imbalan atas ditundanya pembayaran. Misalnya, menjual (menukar) satu
liter beras dengan dua liter beras yang dibayar satu bulan kemudian. Kelebihan
satu liter beras tersebut termasuk dalam riba, karena hal tersebut sebagai
imbalan atas ditundanya pembayaran selama satu bulan.[40]
6.
Hikmah Dihalalkannya Jual Beli dan Diharamkannya Riba
Diantara hikmah dibolehkannya jual
beli adalah melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam. Karena, dapat
meredam terjadinya perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan dan
penipuan. Orang yang membutuhkan barang akan cenderung kepada barang yang ada
di tangan orang lain. Dengan adanya muamalah, maka persoalan yang timbul adalah
peperangan dan perselisihan yang dapat merusak alam dan mengacaukan keserasian
kehidupan. [41]
Sementara itu, hikmah dibalik diharamkannya riba antara lain:
a.
Riba
menyebabkan permusuhan antara individu satu dengan individu yang lain, dan
menghilangkan jiwa tolong-menolong diantara mereka. Padahal Islam sangat
mendorong sikap tolong menolong dan mementingkan orang lain, serta melawan
sifat mementingkan diri sendiri dan mengeksploitasi orang lain.
b.
Riba
mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat
harta, seperti benalu yang setiap saat menghisap orang lain. Padahal Islam
sangat mengagungkan kerja dan menghormati orang-orang yang bekerja, serta
menjadikan kerja sebagai salah satu bentuk usaha yang utama.
c.
Riba
merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan di bidang ekonomi,
dimana orang-orang kaya menghisap dan menindas orang-orang miskin.[42]
C.
Ruang Lingkup Materi Jual Beli pada Mata Pelajaran Fikih Menurut
Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah
Mata pelajaran Fikih di Madrasah
Ibtidaiyah merupakan salah satu mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang
fikih ibadah, terutama menyangkut pengenalan dan pemahaman tentang caracara
pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta
fikih muamalah yang menyangkut pengenalan dan pemahaman sederhana mengenai
ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, kurban,
serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.[43]
Secara substansial mata pelajaran
Fikih memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk
mempraktikkan dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai
perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan
Allah swt., dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya
ataupun lingkungannya. Mata pelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan
untuk membekali peserta didik agar dapat:[44]
1.
Mengetahui
dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek
ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi
dan sosial.
2.
Melaksanakan
dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai perwujudan
dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia
dengan Allah swt., dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk
lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya.
Ruang lingkup mata pelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah meliputi:[45]
1. Fikih ibadah, yang menyangkut: pengenalan dan pemahaman tentang
cara pelaksanaan rukun Islam yang benar dan baik, seperti: tata cara taharah,
salat, puasa, zakat, dan ibadah haji.
2. Fikih muamalah, yang menyangkut: pengenalan dan pemahaman mengenai
ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, kurban,
serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.
Adapun ruang lingkup materi jual beli pada mata pelajaran Fikih menurut kurikulum 2013 PAI dan Bahasa
Arab di Madrasah Ibtidaiyah, yaitu:
Kelas VI, Semester 2
|
Standar Kompetensi |
Kompetensi Dasar |
|
3.
Mengenal ketentuan jual beli dan
pinjam meminjam |
3.1 Menjelaskan tata cara jual beli dan pinjam meminjam 3.2 Mempraktikkan tata tata cara jual beli dan pinjam meminjam |
D.
Kedalaman
materi Jual-beli dalam Kurikulum 2013 PAI dan Bahasa Arab di MI menurut
taksonomi Bloom
Taksonomi bloom yang
sudah direvisi memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kognitif dan dimensi
pengetahuan. Dimensi kognitif
terdapat enam kategori: mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, dan
mencipta.
Sedangkan dimensi pengetahuan terdapat
empat kategori: factual, konseptual, procedural, dan metakognitif. [46]
Adapun tujuan pembelajaran Fikih dalam materi jual
beli kurikulum 2013 mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab di MI antara lain[47]
- Melalui kegiatan mengamati, bertanya, dan
mengikuti proses pembelajaran dengan model Demonstration peserta didik
dapat menjelaskan arti dan hukum jual beli.
- Melalui kegiatan mengamati, bertanya, dan
mengikuti proses pembelajaran dengan model Demonstration peserta didik
dapat menjelaskan rukun dan syarat jual beli.
- Melalui kegiatan mengamati, bertanya, dan
mengikuti proses pembelajaran dengan model Demonstration peserta didik
dapat menjelaskan jual beli yang diperbolehkan dan yang dilarang dan
khiyar.
Selanjutnya berdasarkan
tujuan di atas, dapat dianalisis taksonominya dengan mencari peunjuk-petunjuk
dalam rumusan tujuannya. Dalam rumusan tujuan pertama, petunjuk utamanya terdapat pada frasa “arti dan hukumnya”.
Dalam dimensi pengetahuan, mengenai “arti” merupakan pengetahuan konseptual
karena merupakan pengetahuan yang kompleks, mencakup prinsip dan generalisasi.
Selanjutnya “hukum” merupakan pengetahuan konseptual. Kedua yaitu rumusan masalah pada frasa “menjelaskan” menurut
penjelasan Lorin yakni memahami dan proses ini berlangsung ketika peserta didik
menggunakan model sebab-akibat dalam sebuah sistem.[48]
Menjelaskan rukun dan syarat merupakan pengetahuan konseptual yang mencakup
dasar dan konsep. Ketiga yaitu rumusan masalah yang sama dengan
tujuan nomor dua yaitu pada frasa “menjelaskan”. Mengenai jual beli yang
“diperbolehkan dan dilarang” merupakan pengetahuan prosedural yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah baru.
Berikut ini tabel mengenai analisis kedalaman materi Fikih MI kurikulum
2013 menurut taksonomi bloom berdasarkan rumusan tujuannya:
|
Dimensi
Pengetahuan |
Dimensi Proses
Kognitif |
|||||
|
Mengingat |
Memahami |
Mengaplikasikan |
Menganalisis |
Mengevaluasi |
Mencipta |
|
|
Pengetahuan
Faktual |
|
|
|
|
|
|
|
Pengetahuan
Konseptual |
|
Tujuan 1 Tujuan 2 |
|
|
|
|
|
Pengetahuan
Prosedural |
|
Tujuan 3 |
|
|
|
|
|
Pengetahuan
Metakognitif |
|
|
|
|
|
|
E.
Memeriksa
Kesesuaian Ruang Lingkup Jual-beli dengan Karakteristik Perkembangan Peserta
Didik
Materi Fikih MI yang akan disampaikan sebaiknya yang
operasional konkkrit dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik di usia MI. Sehingga penjelasan mengenai jual beli disampaikan secara
riil dan disesuaikan dengan kemajuan zaman serta perkembangan iptek. Materi
jual beli di MI pada kurikulum 2013 yaitu diberikan di kelas VI semester 2.
Ruang lingkup materi pada jual beli sudah kontekstual dengan kehidupan
sehari-hari peserta didik karena usia kelas VI sudah mengenal jual beli.
Sehingga materi tentang jual beli perlu disampaikan pada tingkat MI agar
peserta didik memiliki pengetahuan tentang hukum, syarat, dan rukun jual beli serta jual beli yang dibolehkan dan
dilarang dan khiyar.
F.
Memeriksa
Kesesuaian Kedalaman Antara Materi Jual Beli dengan Sandar Isi dalam Kurikulum
2013 PAI dan Bahasa Arab di MI
Hasil analisis kedalaman materi tentang jual beli
dalam kurikulum 2013 di MI kelas VI semester genap, meliputi:
- Pengertian dan hukum Jual beli: arti jual beli
secara bahasa dan istilah serta hukum jual beli yang meliputi mubah,
sunnah, haram dan wajib.
- Rukun dan syarat jual beli: rukun jual beli,
syarat sah jual beli, syarat barang yang diperjual belikan, dan ijab qobul.
- Jual beli yang diperbolehkan dan dilarang: ciri
jual beli yang diperbolehkan dan bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.
- Khiyar: pengertian khiyar dan macam khiyar.
Berdasarkan hasil analisis, maka kedalaman materi
jual beli sudah sesuai dengan standar isi dalam kurikulum 2013 PAI dan Bahasa
Arab MI yang tercantum dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab pada Madrasah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual
beli secara bahasa berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah,
menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
dengan menggunakan cara tertentu. Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang
diperbolehkan, sesuai dengan ayat Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 275. Ruang
lingkup jual beli dalam ilmu Fikih yang dibahas dalam makalah ini meliputi:
macam-macam jual beli, rukun dan syarat jual beli, khiyar dalam jual beli, jual
beli yang dilarang dalam Islam, riba, hikmah dihalalkannya jual beli dan
diharamkannya riba.
Adapun ruang lingkup materi jual beli pada mata pelajaran Fikih menurut kurikulum 2013 PAI dan Bahasa
Arab di Madrasah Ibtidaiyah terdapat pada kelas VI semester 2, yaitu
menjelaskan dan mempraktikkan tata cara jual beli. Ruang lingkup materi pada jual beli tersebut sudah
kontekstual dengan kehidupan sehari-hari peserta didik karena usia kelas VI
sudah mengenal jual beli, sehingga materi tentang jual beli perlu disampaikan
pada tingkat MI agar peserta didik memiliki pengetahuan tentang hukum, syarat,
dan rukun jual beli serta jual beli yang
dibolehkan dan dilarang serta khiyar dalam jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bugha, M. D. (2017). Ringkasan Fiqih Mazhab
Syafi’i Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’
dengan Dalil Al-Quran dan Hadis,. Bandung: Noura.
As-Sa’di, S. A. (2008). Fiqih Jual Beli. Jakarta: Senayan
Publishing.
Al-Utsaimin, M. bin S. (2017). Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta
Timur: Ummul Qura.
Lorin W. Anderson, D. (2015). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Menteri Agama Republik Indonesia, Standar
Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab
di Madrasah, Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, ditetapkan tanggal 6 Mei 2008.
Menteri Agama Republik Indonesia,
Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 165 Tahun 2014, ditetapkan tanggal 17 Oktober 2014
Muslich, A. W. (2010). Fiqih Muamalah.
Jakarta: Amzah.
Shobirin, O.
(n.d.). JUAL BELI DALAM, (1).
[1] Siswadi, “Jual Beli dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ummul Qura Vol III, No. 2,(2013)
[2]
Ahmad
Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 179
[3] Musthafa Dib al-Bugha, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’
dengan Dalil Al-Quran dan Hadis, Diterj.oleh: Toto Edidarmo, Cet.II
(Bandung: Noura, 2017), hlm. 271
[4]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 243
[5] Musthafa Dib al-Bugha, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’
dengan Dalil Al-Quran dan Hadis, Diterj.oleh: Toto Edidarmo, Cet.II
(Bandung: Noura, 2017), hlm. 283
[6] Syekh Abdurrahman as-Sa’di dkk, Fiqih Jual Beli, (Jakarta:
Senayan Publishing, 2008), hlm. 76
[7] Musthafa Dib al-Bugha, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan
Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Quran dan Hadis, Diterj.oleh: Toto
Edidarmo, Cet.II (Bandung: Noura, 2017), hlm. 284
[8]
Ibid.,hlm. 271
[9] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 238
[10]
Ibid., hlm.190
[11] Ibid., hlm.186
[12]
Ibid., hlm.180
[13] Ibid., hlm.
186
[14] Ibid., hlm. 186
[15] Ibid., hlm. 187
[16]
Muhammad bin Salim Al-Utsaimin, Halal dan Haram dalam Islam,
Diterj.oleh: Imam Fauzi, Cet. III (Jakarta Timur: Ummul Qura, 2017), hlm. 438
[17] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 190
[18] Ibid., hlm.
193-194
[19] Ibid., hlm. 216-217
[20] Ibid., hlm. 222
[21] Ibid., hlm.
223
[22] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm. hlm. 225
[23] Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3,
No. 2, Desember (2015)
[24] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 232
[25] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 235
[26]
Syekh Abdurrahman as-Sa’di dkk, Fiqih Jual Beli, (Jakarta:
Senayan Publishing, 2008), hlm. 127
[27] Ibid., hlm. 127
[28] Ibid., hlm. 130
[29] Ibid., hlm. 130
[30] Syekh Abdurrahman as-Sa’di dkk, Fiqih Jual Beli, (Jakarta:
Senayan Publishing, 2008), hlm. 134
[31] Ibid., 135
[32]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm. 7
[33] Syekh Abdurrahman as-Sa’di dkk, Fiqih Jual Beli, (Jakarta:
Senayan Publishing, 2008), hlm.
136
[34] Ibid., hlm. 137
[35] Ibid., hlm. 138
[36] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 259
[37]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm. 265
[38] Ibid., hlm. 266
[39] Ibid., hlm. 268
[40] Ibid., hlm.
269
[41] Syekh Abdurrahman as-Sa’di dkk, Fiqih Jual Beli, (Jakarta:
Senayan Publishing, 2008), hlm.s 147
[42] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 263
[43] Menteri Agama Republik
Indonesia, Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 165 Tahun 2014, ditetapkan tanggal 17 Oktober 2014, hlm. 41
[44] Ibid.,hlm. 41
[45]
Menteri Agama Republik Indonesia, Standar
Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Ara b
di Madrasah, Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, ditetapkan tanggal 6 Mei 2008, hlm.
20-21
[46]
Lorin W. Anderson, d.
(2015). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen:
Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 06
[47] Aunur Rofiq,
Buku Guru Fikih Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 untuk Kelas VI MI, Jakarta:
Kementrian Agama RI 2016, hlm. 40
[48] Lorin W.
Anderson, d. (2015). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar